Menurut mayoritas pemikir politik Islam, seperti al-Mawardi dalam kitabnya,
“Al-Ahkâm Ash-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan
yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu Negara atau daerah
adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal,
tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin
oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan
hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang
akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum).
Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk
mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan
untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses
pemilihan dan suksesi.
Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika dapat mencerminkan
kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu calon
pemimpin bukanlah sebuah kewajiban secara personal (fardhu ‘ain) menurut
Islam, namun sebatas kewajiban secara komunal (fardhu kifâyah). Akan
tetapi, di saat ini, ketika kita telah larut dalam permainan politik dan kurang
memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu calon
pemimpin yang dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah
“pro rakyat”, maka partisipasi politik dan memberikan suara pada saat
pemungutan suara menjadi sebuah kewajiban secara personal (fardhu ‘ain).
ISLAM & KEKUASAAN
Pemilihan kepala negara sama artinya dengan memilih Khalifah pada masa awal
kematian Nabi dahulu, semuanya harus tetap mengacu pada aturan main yang
ditetapkan oleh Islam.
Di dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan
politik atau agama dan kepemimpinan, semuanya satu kesatuan. Karena hidup kita
ini diatur oleh agama dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang terbesar.
Hidup adalah tingkah laku, dan tingkah laku dibatasi oleh norma agama termasuk
tingkah laku dalam berpolitik.
BOLEHKAH MEMILIH PEMIMPIN WANITA DI DALAM ISLAM ???
Seputar Ketentuan Pemimpin wanita :
- Tidak Ada Nabi dan Rasul Wanita
(Nabi dan Rasul adalah refleksi dari pemimpin, baik dalam skala besar
maupun dalam skala kecil, dan suka atau tidak suka, mereka adalah contoh,
pedoman atau acuan bagi manusia lainnya)
Rujukannya lihat :
“Dan kalau Kami bermaksud menjadikan Rasul itu dari
golongan malaikat, tentulah Kami jadikan dia berupa laki-laki.” (QS.
Al-An’aam: 9)
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang
laki-laki yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (QS.
Yusuf: 109)
“Kami tiada mengutus Rasul-rasul sebelum kamu
(Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada
mereka. “ (QS. Al-Anbiyaa’: 7)
Imam dalam sholat tidak boleh wanita, kecuali makmumnya juga wanita
(berdasarkan Imam Hanafi, Syafi’i, Hambali dan Ja’fari/ Imammiah)
- Laki-laki Sudah Ditetapkan Sebagai Pemimpin Wanita
Rujukannya :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (QS.
An-Nisaa’: 34)
Ayat ini memang konteksnya berbicara seputar rumah tangga, akan tetapi
secara logikanya, seorang kepala rumah tangga saja haruslah laki-laki, apalagi
seorang kepala negara yang notabene sebagai kepala atau pemimpin dari banyak
kepala keluarga lain, maka tidak bisa lain, dia haruslah laki-laki.
- “Dan anak laki-laki tidaklah sama dengan anak wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
- Hadits :
“Diriwayatkan dari Abu Bakar, katanya: Tatkala sampai
berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia mengangkat raja puteri
Kaisar, Beliau bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang
menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”
(HR. Bukhari, Turmudzi dan An-Nasa’i)
Hadits tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan
mereka kepada seorang wanita, tidak akan mendapatkan keberuntungan. Padahal,
meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah
anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan
menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ini,
menurut al-Qâdhi Abû Bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal
pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para
ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam
menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan,
persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak
berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab,
bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun
terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya
semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi
pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam
urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan
kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah
tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr ath-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam
permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah
secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam
ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan
seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk
menengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang
jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal
dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijma’,
yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
PERTANYAAN YANG TIMBUL ...
1. Bagaimana dengan pemerintahan
Ratu Saba’ yang dikenal bernama Balqis?
- Ratu Balqis
menjadi kepala negara, jauh sebelum dia mengenal Islam dan dipercaya kawin
dengan Nabi Sulaiman. Setelah dia ditundukkan oleh Sulaiman dan menjadi
istrinya, otomatis yang menjadi kepala negara adalah Sulaiman, bukan lagi
Balqis.
2. Apakah Islam melakukan
diskriminasi terhadap perempuan ?
Islam tidak
melakukan diskriminasi.Untuk memimpin suatu negara, orang harus benar-benar
total, baik dalam waktu, pikiran maupun resiko dan tanggung jawabnya bahkan
terkadang harus rela disibukkan oleh aktifitasnya, menghadiri rapat di berbagai
kesempatan, melakukan perjalanan dinas dan seterusnya yang tentu saja sulit
dilakukan oleh seorang wanita, karena ia juga harus melayani suami dan
anak-anak sebagai tugas utamanya.
“Bagi para wanita, mereka punya hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang benar. Akan tetapi para suami memiliki
satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya.” (QS. Al-Baqarah: 228)
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu
bertanggung jawab atas kepemimpinanmu. Laki-laki adalah pemimpin dalam
keluarganya, dan dia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya itu.
Perempuan adalah pemimpin dlm rumah suaminya dan diapun bertanggung jawab
terhadap kepemimpinannya.” (Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi dari Ibnu Umar)
Dalam sejarah, Nabi SAW mengikutsertakan wanita dalam medan perang, namun
mereka bukan dijadikan umpan peluru, tetapi sebagai prajurit yang bertugas
memberikan pertolongan bagi mereka yg terluka seperti dicontohkan oleh Fatimah
Az-Zahrah puteri Beliau sendiri, kemudian wanita juga mempersiapkan konsumsi
seperti dilakukan oleh ‘Aisyah, istri Beliau. Bahkan Khadijah istri Nabi yang
pertama adalah seorang saudagar (pengusaha).
Sesudah Nabi wafat, Khalifah Umar, sahabatnya,
mengangkat Ummu Asy-syifa’ Al-Ansyariah sebagai pengawas dan pengontrol pasar
Madinah (kalau sekarang ini mungkin bisa disetarakan dengan kedudukan menteri
ekonomi).
Patut dicatat bahwa tugas seorang menteri tidak seberat dan sebesar
tanggung jawab tugas kepala negara. Di sisi lain, menteri tetap harus
bertanggung jawab kepada pemimpinnya, yaitu presiden (dalam istilah agamanya,
isteri memiliki tanggung jawab atas kepemimpinannya dalam rumah tangga
suaminya).
Itulah contoh dan bentuk emansipasi wanita di dalam Islam.
Bagaimana bila kepala negaranya wanita dan wakilnya
pria ?
- Ini terbalik,
Al-Qur’an dan Hadits tidak membenarkan wanita memimpin pria, istri memimpin
suami, Imam wanita Makmum laki-laki.
Lalu bagaimana bila suatu saat si wakil melengserkan
si pemimpin yang sebelumnya adalah wanita ?
- Tetap saja pada
waktu pemilihan pertama, sang pemimpin adalah wanita dan sang wakil adalah
laki-laki, tetap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kapan kita boleh memilih wanita sebagai pemimpin ?
- Bila sudah tidak ada
lagi laki-laki Islam yang mampu jadi pemimpin !
Bolehkah kita Golput ?
Golput (Golongan Putih) artinya tidak memilih. Inipun tidak dibenarkan oleh
Islam. Ali bin Abu Thalib sempat tidak setuju dengan kepemimpinan Abu Bakar
pasca kematian Nabi Muhammad. Tetapi itu diawali dengan ketidakpuasan Fatimah
az-Zahrah, Istri Ali, yang juga puteri kesayangan Rasul dengan keputusan
politik Abu Bakar terhadap tanah Fadak yang diklaim sebagai warisan Nabi SAW
untuk puterinya itu. Namun setelah Fatimah wafat dan dengan pemikiran yang
panjang kedepan, enam bulan sesudahnya Ali bin Abu Thalib akhirnya memilih
mengikuti kepemimpinan Abu Bakar selaku Khalifah/ kepala negara.
Dalam hal kepemimpinan, Islam secara tegas memberi arahan pada umatnya
tentang kriteria dan juga kewajiban untuk melaksanakan pemilihannya. Hal ini
telah dinyatakan dalam nash-nash syar’i.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Jika ada tiga orang bepergian, hendaknya mereka
mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi pemimpinnya.”
(HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Bila untuk sebuah rombongan kafilah saja diwajibkan pengangkatan
kepemimpinan sebagai ketua rombongan yang bertanggung jawab terhadap jemaahnya,
apa lagi dalam suatu ruang lingkup kenegaraan!!!
No comments:
Post a Comment