"Setelah
diumumkan pengangkatannya menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz kemudian
menyendiri di rumahnya dan beliaupun tak mau keluar menemui seseorang. Dalam
kesendirian itu, beliau menghabiskan waktu dengan bertafakkur, berdzikir, dan
berdoa kepada Tuhan. Pengangkatannya sebagai Khalifah atau pemimpin tidak
disambutnya dengan pesta kemenangan, tetapi justru dengan melakukan introspeksi
diri.
Tiga hari kemudian barulah beliau keluar rumah. Para pengawal menyambutnya,
hendak memberi hormat. Umar malah mencegahnya. "Kalian jangan memulai
salam kepadaku, bahkan salam itu kewajiban saya kepada kalian."
Itulah perintah pertama Khalifah kepada pengawal-pengawalnya.
Ketika Khalifah Umar datang dalam pertemuan dengan para pembesar negeri, para
tokoh masyarakat dan hadirin yang telah menunggunya terdiam dan serentak
bangkit berdiri memberi hormat kepada Khalifah Umar. Apa kata beliau?
"Wahai sekalian manusia, jika kalian berdiri, saya pun berdiri. Jika
kalian duduk, saya pun duduk. Manusia itu sebenarnya hanya berhak
berdiri di hadapan Rabbul-'Alamin."
Itulah yang dikatakan pertama kali Khalifah Umar kepada umat yang dipimpinnya.
Sebagai seorang pemimpin Khalifah Umar bisa dengan mudah mendapatkan
penghormatan dan kemewahan. Namun, ternyata Umar tidak serta merta meneruskan
budaya kepemimpinan yang sebenarnya menguntungkannya dirinya secara pribadi
itu. Beliau tak mau dihormati berlebihan, melainkan
memilih sikap rendah hati dan sederhana dalam memimpin umatnya. Hasilnya,
kepemimpinannya dikenang dengan penuh rasa hormat dan mewariskan nilai-nilai
kebajikan.
Seorang pemimpin dalam bidang apapun, apakah dalam bisnis, pemerintahan,
mayarakat maupun lainnya, sebaiknya menyadari bahwa kedudukan dan jabatan yang
disandangnya sesungguhnya adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan, baik
kepada anggota yang dipimpinnya maupun kepada Tuhan. Maka ketika berhasil
menduduki posisi pimpinan, apakah dalam pemerintahan, Bisnis, masyarakat,
maupun organisasi lainnya, sebaiknya tidak melalaikan amanah sebagai pemimpin
yang melayani anggota dan masyarakat yang dipimpinnya. Seorang pemimpin, perlu
mengembangkan sikap kepemimpinan yang melayani atau dalam istilahnya sekarang
adalah "servant leader" .
Sayangnya dewasa ini banyak sekali pemimpin yang kurang menyadari
amanahnya dan lebih berorientasi pada tujuan pragmatisme dan nilai-nilai
kemewahan seperti mengejar harta kekayaan. Pemimpin yang berorientasi pada
nilai-nilai kemewahan dan materialisme, akan cenderung dikendalikan oleh nafsu
dan ego pribadinya. Maka tidak heran ketika sedang memegang kekuasaan, yang
dipikirkan adalah apa yang dapat diambil dengan posisinya saat ini, apa yang
dapat diperoleh bagi keuntungannya dari orang lain, bukan bertanya apa kebaikan
yang dapat diberikan pada orang lain.
Pemimpin yang berorientasi pada nilai-nilai materialisme dan kemewahan duniawi,
cenderung mudah menyalahgunakan kekuasaan untuk tujuan kepentingan pribadinya,
untuk tujuan kekayaan harta. Bagaimana akhir kehidupan mereka? Banyak diantara
mereka yang masa tuanya tidak hidup damai, malah gundah gulana karena dijerat
hukum. Karena sesungguhnya meraih kemuliaan dengan dibungkus materi hanyalah
semu dan tipuan belaka.
Pemimpin seperti ini menganggap bahwa melayani orang lain dirasakan sebagai
suatu kerendahan baginya, seolah yang harus melakukan adalah orang-orang
rendahan. Padahal melayani inilah sesungguhnya misi mulia yang sebenarnya
diamanahkan Allah kepada setiap hamba-Nya yang hidup di dunia ini, sebagai "Khalifah"
di bumi.
Menjadi pemimpin yang rendah hati dan mengedepankan kesederhanaan adalah
landasan bagi keberhasilan yang penuh makna. Dalam dunia bisnis misalnya, kita
dapat belajar dari para pemimpin bisnis atau CEO dunia seperti Konosuke
Matsushita, Soichiro Honda, Anita Rhodick dan lainnya. Dalam kehidupan kita
mengenal para pelopor kehidupan seperti Mahadma Gandhi, Bunda Therea, Imam
Al-Gazali dan lain sebagainya. Mendengar nama-nama mereka semua sungguh
menggetarkan hati kita semua. Apakah mereka semuanya berhasil karena
kepemimpinan dengan kemewahannya ? Belajar dari kisah sukses mereka, kita akan
menemukan sikap yang rendah hati, sikap sederhana dan senang melayani orang
lain. Mereka senang mengabdikan hidupnya untuk melayani dan menyumbangkan hartanya
untuk kemanusiaan. Kebajikan yang diwariskan dari
kepemimpinan menjadikan nama-nama mereka dikenang harum sampai sekarang.
Memang tidak mudah untuk selalu rendah hati dan memiliki mentalitas melayani
dari hati. Apalagi kalau kita memiliki kedudukan sebagai eksekutif, CEO,
pemimpin Bisnis, pemimpin pemerintahan, pemimpin masyarakat atau pemimpimpin
lainnya yang memiliki kesempatan dilayani dengan kemewahan yang terbuka di
depan mata. Kalau manusia terjebak pada dorongan memperturutkan kepentingan
nafsu duniawi dan egoisme pribadi semata, pasti akan mementingkan kepentingan
sendiri dan maunya justru dilayani dengan kemewahannya.
Seorang pemimpin yang rendah hati dalam bekerja ia akan senantiasa berpikir
bagaimana dapat mensejahterakan anggota yang dipimpinnya. Pemimpin yang baik
dapat menjadi teladan dan menginspirasi anggotanya untuk mengembangkan
nilai-nilai pelayanan dari dalam hati. Sehingga anggota organisasipun dalam
bekerja juga berpikir bagaimana bisa memberikan layanan terbaik, memberikan
kontribusi terbaik melalui peran pekerjaannya dalam organisasinya. Karena
setiap orang yang melayani dengan ikhlas berarti telah berpartisipasi menebar
rahmat ke seluruh alam. Itulah tugas terhormat seorang pemimpin.
Menjadi pemimpin yang rendah hati memerlukan kesadaran kita untuk mau melakukan
transformasi diri dengan mengubah pusat diri yang sebelumnya egoisme dan hawa
nafsu, diganti dengan kebeningan hati nurani. SEMOGA BERMANFAAT !
No comments:
Post a Comment